Sunday, May 4, 2008

STANDAR YANG BENAR

Sampeyan semua pasti pernah dengar seorang ibu ngudang anaknya “Cah bagus-bagus dewe…….. cah ayu-ayu dewe…” Atau dengan kalimat yang semakna dengan itu. Di mata sang ibu anaknya adalah paling ngganteng, paling cantik dan tentunya paling pinter. Nggak peduli si anak itu sebenarnya cacat, atau kurang ganep, tetap saja si ibu akan melihat dengan kacamatanya sendiri.

Saat sudah dewasa pun, kita menilai kecantikan dan ketampanan orang dengan sudut pandang masing-masing. Ada yang menilai gadis gingsul itu molek. Tapi ada juga yang memandangnya jelek. Ada yang menilai perjaka dengan kumis nyompok itu ngganteng. Tapi ada juga yang menganggapnya jorok, apalagi pas minum, keliatan klebus njijiki. Orang menyebutnya sebagai relatif.

Hal yang relatif ini dulu juga berlaku dalam takaran dan ukuran zaman dulu. Mbah buyut kita dulu mbeli beras satuannya beruk. Ini bukan munyuk pencari kelapa itu. Tapi justru ini nama satu takaran beras. Padahal beruk satu daerah dengan daerah lain itu beda. Lebih rumit lagi saat orang beli tanah sawah. Satuan di tempat saya namanya “pathok”. Satu pathok satu desa belum tentu sama ukurannya dengan satu pathok desa lain.

Waktu pun juga begitu. Dulu ada jam pasir. Di kisah-kisah silat kita masih dapati kata-kata seperminuman teh. Semuanya menunjukkan waktu yang tidak tentu. Belum tersandarisasi.

Di pelajaran fisika saya mendapati bahwa satuan dan ukuran itu harus distandarisasi. Semakin beradab manusia, semakin butuh namanya standarisasi ukuran ataupun takaran. Maka ditemukanlah yang namanya meter, gram, dan detik dengan definisinya masing-masing. Jika satuan sudah ditetapkan, manusia bisa mengukur, menimbang dan mengetahui umur apapun, bahkan bumi ataupun alam semesta ini.

Adakah kebaikan dan keburukan perlu distandarisasi? Tentu saja. Kalo tak ada standarisasi maka yang ada ketidakteraturan alias chaos. Apakah semua setuju bahwa kebaikan dan keburukan distandarisasi? Tentu saja tidak. Ada pihak-pihak yang tidak suka ditetapkannya standarisasi baik dan buruk ini. Dan lebih suka dikaburkan.

Di dalam ajaran agama saya, ada dikenal amar ma’ruf nahi munkar. Kalimat ini sering diartikan dengan memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari kemunkaran (keburukan). Pertanyaannya : mengapa kebaikan disebut ma’ruf, dan keburukan disebut munkar?

Asal arti kata ma’ruf adalah yang dikenal/diketahui, sedangkan arti kata munkar adalah yang diingkari. Ma’ruf mengandung arti kebaikan, yakni apa-apa yang dikenal dan diketahui baik menurut Kitabullah dan Sunnah rasul. Sedangkan Munkar mengandung arti yang diingkari oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul. Maka disini ada standarisasi yang mutlak tentang kebaikan dan keburukan yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul. Sehingga disini untuk kebaikan dipakai kata ma’ruf dan untuk keburukan dipakai kata munkar.

Lha kalo cuma baik dan buruk tanpa ada standarisasi, maka orang akan cenderung mencari pembenaran untuk semua kelakuannya. Sogok akan disebut komisi, munafik akan disebut luwes, merdukun disebut ikhtiyar, syirik akan disebut peninggalan nenek moyang, riba akan disebut sewa uang, pelacuran akan disebut sewa barang,dan makan bangkai akan disebut sebagai makan sembelihan tuhan.

Ajaran agama yang baik akan memberikan batasan baik dan buruk dengan definisi yang terukur. Saat ini saya masih yakin bahwa dunia ini harus dilihat secara hitam putih. Karena toh di akherat sono hanya ada surga dan neraka saja. Maka definisi ma’ruf dan munkar adalah tepat. Usaha mengaburkan standarisasi baik buruk ataupun hitam putih ini selalu diidentikkan dengan usaha iblis dan setan dalam ajaran agama manapun.

Wa laa talbisul haqqo bil baathil (janganlah mencampur adukan antara yang haq/benar dengan yang salah/bathil), itu perintah Kitabullah. Bahkan ada doa yang terkenal : Allahumma arinal haqqo haqqo, warzuqnattiba’a. Wa arinal bathila bathila, warzuqnajtinaba. Inti isi doanya, agar ditunjukkan mana yang haq dan mana yang bathil.

Lha kalo urusan takaran saja jika gak distandarisasi mbikin kaco, apalagi urusan haq dan bathil, baik dan buruk. Hanya yang mengemban misi iblis dan setanlah yang tidak menyukai standarisasi kebaikan dan keburukan. Dan biasanya nafsu manusia akan nyaman dengan ini.


No comments:

Assalaamu'alaikum~~~~jaga hati, jaga panca indramu! jaga sikap + perbuatanmu,JANGANTURUTI NAFSU & AMARAHMU = INGAT! GUSTI ALLAH TIDAK PERNAH TIDUR = ->->-.>

PERKENALAN dari ku:

My photo
jakarta - kediri, alam raya, Indonesia
Dalam impian masa remajaku Kucoba kuangkat kembali karung-karung bernama harapan, ku terjatuh, Kucoba untuk bangkit kembali, Aku terjatuh dan aku terjatuh...... Entah berapa kali aku terjatuh, aku tak dapat menghitungnya, Namun aku masih bertahan, karena hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah perjuangan, memasuki rahasia langit dan bumi, serta mencipta dan mengukir kehidupan adalah tujuan akhirku. Dan kuyakin masih ada hari esok bersama Pelangi. Aku terus berusaha dan berdoa, Aku serahkan tubuh dan jiwaku sepenuhnya untuk-Mu Tuhan,